Dalam perkara perdata sengketa hak milik, seperti harta gono-gini, waris, jual-beli dengan objek sengketa berupa tanah yang telah bersertifikat, hakim tidak diperbolehkan membatalkan pendaftaran sertifikat tanah yang telah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena hal itu bukan merupakan kewenangan hakim perdata, melainkan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Hakim dalam perkara perdata hanya boleh menyatakan bahwa sertifikat tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak memiliki alas hak yang sah.
Hal ini ditegaskan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan dalam rumusan kamar Perdata Umum pada poin kedua yang berbunyi:
Hakim perdata tidak berwenang membatalkan sertifikat, namun hanya berwenang menyatakan sertifikat tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan dasar tidak mempunyai alas hak yang sah. Pembatalan sertifikat adalah tindakan administratif yang merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara (TUN).
Tidak mempunyai alas hak yang sah dalam ketentuan tersebut seperti contoh dalam perkara waris jika ternyata tanah yang disertifikatkan adalah merupakan harta peninggalan (warisan) yang belum dibagikan kepada ahli warisnya dan ternyata pendaftaran sertifikat tersebut tidak atas seizin dan sepengetahuan ahli waris lainnya.
Dari ketentuan SEMA tentang larangan membatalkan sertifikat tanah tersebut, maka hal ini dapat dianalogikan dan diterapkan pada kasus lain yang serupa yaitu terhadap penerbitan akta hibah oleh pejabat umum yang ditunjuk oleh Undang-undang dalam hal ini adalah Notaris dan PPAT yang ternyata melakukan pemeriksaan yang teliti sehingga terjadi mal administratif yang merugikan hak-hak pihak ketiga.